Wartawan foto harian Asia Raja yang mengabadikan perisriwa Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan meninggal tahun 1971. Ia berasal dari Menado dan memperoleh nama "Sumarto" dari ayah ang-katnya dan ia seringkali menggunakan nama samaran "Sumafram". Awalnya dia belajar teknik pengambilan gambar dengan kamera dari kakak kandungnya, Alex Mendur seorang wartawan Java Bode (Jakarta) kala itu. Ia lalu menguji kemampuannya dengan mengirirnkan foto karyanya ke Java Bode dan mingguan Werelnieuws, keduanya penerbitan Belanda di Jakarta, sehingga kemudian ia diterima bekerja sebagai pembantu wartawan foto.
Pada masa pendudukan Jepang dia bekerja pada Jawa Shimbun Sha, semacam Sarekat Penerbit Suratkabar, sekaligus menjadi wartawan harian Asia Raja. Ketika penguasa Jepang memintanya agar menyerahkan negatif film dari Peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Rl 17 Agustus 1945, Frans mengatakan bahwa negatif film itu diambil oleh barisan pelopor. Padahal kenyataannya ia mengubur di bawah sebuah pohon di halaman kantor harian tempatnya bekerja. Ketika merasa sudah aman ia menggali film tersebut dan mencetaknya, sehingga tersebarlah foto-foto bersejarah yang kerap kali tersebar di media massa.
Pada masa revolusi, Frans juga ikut berjuang dengan kamera sebagai senjatanya. Ia seringkali hilir mudik Jakarta-Yogyakarta untuk mengabadikan berbagai peristiwa bersejarah. Berbagai hasil jepretannya kemudian ia titipkan kepada sejumlah pilot Filipina. Foto-foto itu kemudian termuat dalam berbagai media massa luar negeri. Frans merupakan satu-satunya juru foto yang berhasil mengabadikan saat pertemuan kembali antara Soekarno dan Hatta, saat Soekarno mendarat di Pasar Ikan dari tempat pembuangannya di Sumatera. Selama empat tahun berturut-turut ia menjadi ketua PWI cabang Jakarta. Selain itu ia juga giat dalam Papfias (Panitia Aksi Pemboikotan Film Amerika Serikat) yang didalangi oleh PKI.
Fotografi memang bukan hanya menjadi saksi sejarah, tapi juga menjadi bukti sejarah hidup manusia dan peristiwa-peristiwa yang melingkupinya. Dengan keberadaan foto, banyak orang bisa diingatkan dan disadarkan tentang suatu hal. Frans Soemarto Mendoer sangat memahami hal tersebut. Karena itulah, setelah mendapat kabar dari seorang sumber di harian Jepang Asia Raya bahwa akan ada kejadian penting di rumah kediaman Soekarno, Frans langsung bergerak menuju rumah bernomor 56 di Jalan Pegangsaan Timur itu sambil membawa kamera Leica-nya. Dan benar, pagi itu, Jumat, 17 Agustus 1945, sebuah peristiwa penting berlangsung di sana: pembacaan teks proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia oleh Soekarno
Saat itu Frans hanya memiliki sisa tiga lembar plat film. Jadi dari peristiwa bersejarah itu, ia hanya bisa mengabadikan tiga adegan. Yang pertama, adegan Soekarno membacakan teks proklamasi. Yang kedua, adegan pengibaran bendera Merah Putih yang dilakukan oleh Latief Hendraningrat, salah seorang anggota PETA. Dan yang ketiga, suasana ramainya para pemuda yang turut menyaksikan pengibaran bendera. Setelah menyelesaikan tugas jurnalisnya itu, Frans langsung bergegas meninggalkan rumah kediaman Soekarno karena menyadari bahwa tentara Jepang tengah memburunya.
Frans menjadi satu-satunya orang yang mengabadikan momen sakral itu karena Alex Alexius Impurung Mendoer, kakak kandungnya yang juga sempat memotret prosesi bersejarah tersebut, harus merelakan kameranya dirampas oleh tentara Jepang.
Dan sewaktu tentara Jepang menemui Frans untuk meminta negatif foto Soekarno yang sedang membacakan teks proklamasi, Frans mengaku film negatif itu sudah diambil oleh Barisan Pelopor. Padahal negatif foto peristiwa yang sangat penting itu ia sembunyikan dengan cara menguburnya di tanah, dekat sebuah pohon di halaman belakang kantor harian Asia Raya. Kalau saja saat itu negatif film tersebut dirampas tentara Jepang, maka mungkin generasi sekarang dan generasi yang akan datang tidak akan tahu seperti apa peristiwa sakral tersebut.
Bahkan, mengenai kehadiran Frans di rumah Soekarno pada waktu itu, wartawan senior Alwi Shahab menulis “Andaikata tidak ada Frans Mendoer, maka kita tidak akan punya satu foto dokumentasi pun dari peristiwa proklamasi kemerdekaan…” Tulisan itu dimuat di harian Republika edisi Minggu, 14 Agustus 2005, tiga hari menjelang peringatan Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ke-60.
Pencucian tiga buah foto bersejarah itu juga tidaklah mudah karena dihalang-halangi pihak Jepang. Frans bersama Alex terpaksa secara diam-diam harus mengendap, memanjat pohon pada malam hari, dan melompati pagar di samping kantor Domei (sekarang kantor berita ANTARA) untuk bisa sampai ke sebuah lab foto guna mencetak foto-foto tersebut. Padahal, bila dua bersaudara itu tertangkap oleh tentara Jepang, mereka akan dipenjara, bahkan dihukum mati.
Foto pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia itu pertama kali dimuat di harian Merdeka pada tanggal 20 Februari 1946, lebih dari setengah tahun setelah pembuatannya. Film negatif catatan visual itu sekarang sudah tak dapat ditemukan lagi. Ada dugaan bahwa negatif film itu ikut hancur bersama semua dokumentasi milik kantor berita Antara yang dibakar pada peristiwa di tahun 1965. Waktu itu, sepasukan tentara mengambil seluruh koleksi negatif film dan hasil cetak foto yang dimiliki Antara lalu membakarnya.
No comments:
Post a Comment