Monday, April 25, 2011

Lulusan S2 yang mau bekerja dengan gaji Rp. 800.000,-


Oase Kecil Sebuah Perjalanan

April 25, 2011, by DindinSuzaridian.


“Baiklah, sesuai hasil evaluasi dan tes, kamu diterima di perusahaan ini!” dingin saja HRD Manager, bernama Pak Eko Budi Purwanto, itu bicara. Saya tergagap. “Di..di..terima, Pak?” Pak Eko mengangguk, menatap dalam ke arah saya. “Kenapa? Kamu gak bersedia bergabung di perusahaan ini?” sahut Pak Eko, tetap dingin. “Eh..mau Pak…bersedia..bersedia…!” jawab saya, masih gugup. “Kamu nanti jadi salesman, lho, ke pasar becek, gaji ga sampe 800ribu!” Pak Eko seakan mencoba menakuti saya akan pekerjaan ini.
Saya tahu Pak Eko ragu akan komitmen kerja saya di bidang ini. Seorang lulusan magister manajemen di PPM, sebuah kampus manajemen tertua dan terkemuka di Indonesia, hanya bekerja sebagai salesman dengan gaji tak lebih dari 800ribu rupiah? “Iya Pak, saya mau jadi salesman! Bukan gaji aja yang saya cari! Pasti banyak hal akan saya dapat nanti” entahlah, mungkin itu cuma ungkapan basa basi saya saja. Tapi saat itu saya begitu yakin dengan pekerjaan itu, tak ragu saya mengambilnya.
”Ok, kalau gitu, ini surat perjanjian kerjanya, kamu boleh bawa pulang dulu, nanti kembali sudah ditandatangan.” Pak Eko menyerahkan setumpuk tipis kertas. Saya mengangguk, saya ambil tumpukan kertas itu, memasukkannya rapi ke dalam tas dan saya pamit.
Setelah 86 lamaran kerja, 41 kali panggilan interview dan 11 kali psikotes, sejak saya lulus S1, bahkan diselingi kuliah magister manajemen, akhirnya saya resmi bekerja di sebuah perusahaan distribusi produk consumer good berskala nasional bernama PT. Rodamas.
Saya tahu, gaji saya sangat kecil untuk ukuran lulusan magister manajemen, pekerjaan saya bahkan jauh dari aplikasi saat kuliah. Jadi salesman? Meski bernama program Young Graduate Executive, tetap saja saya sebagai salesman. Tapi saya tidak peduli, saya hanya mau coba, mau bekerja, dan menghasilkan sesuatu. Itu saja.
****
”Kamu sekarang ke Pasar Baru Bekasi Timur! Sementara ini kamu ikut dulu SC yang lama, setelah itu kamu coba kerjain sendiri ya!” Pak Ahmad, supervisor saya, memberikan instruksi khusus pada saya. Saya mengangguk saja, tanpa tahu seperti apa pekerjaan SC (Sales Centre) sebenarnya.
Yang saya tahu, seorang SC bertugas menjual produk perusahaan yang ditempatkan di gudang grosir di pasar itu ke toko-toko kecil sekitarnya. Hari itu hari ke enam saya bekerja, lima hari sebelumnya saya dan beberapa teman lain diberikan materi kelas mengenai sales. Tujuannya sebagai dasar pengetahuan saat nanti terjun ke lapangan. Dua minggu saya di Pasar Baru Bekasi Timur, dua minggu berikutnya, ke Pasar Koja Jakarta Utara.
Saya bekerja mirip kuli panggul pasar, mirip juga pedagang asongan dari toko ke toko mengecerkan barang. Berkali-kali terbersit malu, saya kuatkan hati, toh di pasar ini tidak ada yang mengenal saya.
Namun ternyata saya salah, di suatu hari, saat saya sedang memanggul sekarton bumbu masak instan di bahu kanan saya, ”Dindin ya?” seorang ibu menyapa saya penuh heran. Perlahan saya menoleh, agak pelan karena berat beban di bahu saya. ”Eh iya…iya..ini Dindin.” jawab saya gugup. Saya tidak tahu siapa ibu di hadapan saya itu, saya hanya pernah mengenal dan bertemu dia di suatu tempat. Saya letakkan sekarton bumbu masak instan itu di sisi kanan saya. Tangan ibu itu mengulur hendak menyalami. Tangan saya yang belepotan tepung bercampur debu pasar, membuat saya ragu membalas jabatnya. Bergegas saya membersihkan tangan saya, melapnya ke baju saya asal-asalan. ”Apa kabar, Tante?” tanya saya basa-basi, saya masih bingung, siapakah ibu ini. ”Kamu lagi ngapain?” pertanyaannya masih tersirat heran. ”Saya kerja, Tante.” ”Kerja? Kerja apa kamu?” Jawaban saya selanjutnya menjadi sia-sia saja, karena si Ibu itu tetap saja keheranan, dan saya tetap tidak tahu siapa dia, sungkan saya bertanya.
Menjadi SC, benar-benar memberikan pelajaran kehidupan bagi saya. Dulu ketika usia 5-9 tahun, sering mengantar Mama pergi ke pasar, saya lihat para kuli menggotong barang di punggung atau bahunya, dan –tak disangka- saya saat ini benar-benar melakukan hal yang sama.
Saya jalankan pekerjaan ini dengan hati gembira, karena itulah satu-satunya pembenaran saya bekerja seperti ini. Meski terkadang air mata ikut menggenang tatkala melihat lingkungan pasar. Saya menangis ketika ada seorang nenek sesenggukan di pojok tangga pasar, karena hasil jualan hari itu dicopet. Saya tak bisa menahan sedih ketika seorang tukang becak panik mendapati becak beserta barang bawaannya raib entah kemana.
Itulah ujian kehidupan, keras, tanpa kompromi, dan itu saya temukan di pasar. Terucap puji syukur, meski saya cuma salesman tapi saya dipastikan akan mendapat gaji di akhir bulan, saya masih punya uang untuk makan di hari itu. Saya bersyukur. Disinilah saya menimba pelajaran kehidupan pertama, yaitu : bersyukur, bersyukur dalam arti sesungguhnya.
****
Setelah kira-kira satu bulan saya menjadi SC, saya dipindah ke Salesman Kanvas. Saya menjalani tingkatan salesman yang lebih tinggi dibandingkan dengan SC. Saya mengendarai mobil box berisikan barang-barang jualan dan mendistribusikannya door to door, dari toko ke toko secara eceran. Bermodalkan SIM A, untuk pertama kalinya saya mengendarai mobil box Colt L-300. Berat, tidak power steering, malah steering by power.
Daerah jualan saya berganti-ganti, seminggu di Bekasi, dua minggu berikutnya di sekitar Slipi, dua minggu berikutnya di sekitar Pejaten. Hingga akhirnya saya cukup lama di kawasan Marunda, Rorotan, Babelan, hingga Priok. Mendengar nama daerahnya saja sudah cukup membuat merinding.
Banyak preman di sana. ”Mau ngapain, Mas?” suatu hari seorang pria hitam legam, berjaket jeans lusuh, menyapa saya. ”Mau jualan, Bang.” jawab saya, berusaha tegas. ”Gua mau dong biskuitnya!” tanpa menunggu izin dari saya, pria itu mengambil beberapa kotak biskuit dari box mobil. Saat itu saya sedang sibuk mengambil barang pesanan sebuah toko, jadi pintu box terbuka dan dengan mudah pria itu mengambil beberapa kotak. ”Bang, jangan Bang, itu bukan barang saya, itu punya kantor.” ujar saya setengah memelas. Pria itu pastinya tidak mau peduli. Buat dia, hari itu dia perlu makan dengan cara apapun.
Seumur hidup, baru kali ini saya berhadapan langsung dengan preman macam ini, berbadan kurus ceking, diajak duelpun saya yakin menang, tapi –mungkin- punya teman banyak di belakangnya. Itu yang saya keberatan. Saat itu percuma saja saya melawan, tak sebanding rasanya mempertaruhkan nyawa demi mempertahankan beberapa box biskuit. Saya pasrah. Anggap saja ini ongkos pembelajaran, yang tidak pernah saya dapat dari bangku sekolah manapun, dengan ongkos termahal sekalipun.
Kembali saya mendapat pelajaran kehidupan kedua yaitu : kalau kita menganggap itu sebagai belajar, sebagai ilmu, sebagai pengalaman, maka kita akan ikhlas berapapun ongkos yang keluar.
****
Suatu hari, ketika saya beristirahat makan siang di sebuah warteg, tiba-tiba HP saya berdering. ”Halo, bisa bicara dengan Saudara Dindin Suzaridian?” sapa ramah di ujung telepon. ”Ya, saya sendiri, dengan siapa saya bicara?” jawab saya tak kalah ramah. ”Saya HRD Manager PT. Yasulor Indonesia.” ujar penelepon itu.
Buat saya perusahaan itu terdengar familiar, namun saya lupa perusahaan apa itu. “Ya, ada yang bisa saya bantu, Pak?” saya berusaha menutupi keingintahuan saya akan perusahaan itu. “Berdasarkan evaluasi kami, Anda diterima di perusahaan kami, sebagai Assistant Product Manager, kami harap Anda bisa hadir besok pagi untuk negosiasi gaji.” Si Bapak HRD Manager itu menjelaskan panjang lebar. “Oh, Bapak itu yang dari L’Oreal, ya?” spontan saja saya menyebut merk produk karena secara tiba-tiba saya teringat perusahaan itu.
Saya ingat, proses tes yang panjang, tiga kali interview, psikotes dan diakhiri dengan presentasi depan Board of Director. Bahkan saya ingat, saya harus bersaing dengan beberapa teman sekelas saya yang juga melamar ke sana. Perusahaan itu menjadi incaran para lulusan dari kampus saya, selain karena perusahaan asing, juga karena tawaran gaji yang menggiurkan. Kabarnya, fresh graduate di perusahaan itu dihargai 3 atau 4 juta, suatu angka fantastis untuk ukuran saya saat itu. Bandingkan dengan saya yang hanya menerima kurang dari 800 ribu per bulannya.
“Iya, saya dari L’Oreal.” “Hmm…tapi…maaf Pak, saya saat ini sedang bekerja di sebuah perusahaan,” Saya mulai ragu meneruskan kalimat itu, ”jadi, mohon maaf, saya tidak bisa bergabung di perusahaan Bapak.” Kalimat terakhir itu begitu lugas ”jadi, mohon maaf, saya tidak bisa bergabung di perusahaan Bapak.” Entah angin apa yang membuat saya mengatakan hal itu, entah alasan apa yang menjadi penyebab saya menolak tawaran perusahaan itu. Saya tidak tahu!
Beratnya bekerja sebagai salesman? Gaji yang hanya kurang dari 800ribu? Atau ancaman preman pemalak? Tidak ada alasan kuat apapun yang bisa menjadi penyebabnya! Tidak ada! Sampai saat inipun saya tidak tahu jawabannya! Jadi, mohon maaf, belum ada pelajaran yang saya ambil dari peristiwa mengejutkan ini. Tapi, coba saja baca terus tulisan ini, pasti akan ada pelajaran yang bisa diambil.
****
Pekerjaan sebagai salesman, saya jalani kurang lebih 10 bulan. Masih bermodalkan hati yang senang dan ikhlas, dan berkali-kali teman-teman saya memaki saya karena menolak pekerjaan di L’Oreal. Semakin lama saya menyenangi pekerjaan ini, menjual, menerima komplain keras orang toko, hingga palakan preman. Semua saya nikmati. Masa-masa menjadi salesman akhirnya saya akhiri.
Saya diangkat menjadi supervisor tim sales. Kerjaan saya sama sebenarnya, tetap salesman, hanya saja saya diberi wewenang lebih tinggi dan memimpin 6 orang salesman. Sejak itu semua seakan berjalan mengalir sesuai skenario Tuhan tanpa ada yang bisa mencegahnya. 4,5 tahun meniti karir di Rodamas dengan posisi Chief of Sales untuk area Jakarta hingga akhirnya saya ditawari untuk pindah ke sebuah perusahaan Jepang yang bergerak dalam industri minuman ringan.
Saat ini saya masih meniti karir itu, masih bekerja keras, masih mengikuti apa yang dikatakan Tuhan, masih tunduk atas jalan yang diberikanNya.
Saya tidak akan seperti sekarang ini jika saat itu saya menerima pekerjaan di L’Oreal. Seperti apa saya, apakah sukses atau gagal, tidak ada yang tahu. Semua itu skenario Maha Agung dari Tuhan. Ternyata, satu pelajaran lagi saya dapatkan atas peristiwa penolakan saya atas L’Oreal, yaitu : apapun keputusan kita, bagaimanapun kerasnya usaha kita, jika itu memang skenario Tuhan, tak akan ada yang bisa mencegahnya.
Dindin Suzaridian

No comments:

Share this